Pengetahuan Fundamental dari materi Memahami Makna Economic Bubbles (Gelembung Ekonomi), bahwa setiap masyarakat negeri wajib mempunyai kepahaman seputar materi ekonomi, hal ini erat kaitannya dengan perkembangan ekonomi di rumahtangga, masyarakat dan negara itu sendiri, maka belajar ekonomi memang wajib di galakkan sejak dini, sejak masih mengenal bangku pendidikan. wajib dicatat bahwa gaji lulusan ekonomi termasuk yang tertinggi dari disiplin apapun. Penelitian yang berbeda cenderung menemukan nilai gaji lulusan ekonomi cukup dibayar dengan bagus. Kemampuan ilmu ekonomi misalnya pengambilan keputusan: apa yang wajib dilakukan pemerintah untuk mengurangi defisit anggaran
Memahami Makna Economic Bubbles (Gelembung Ekonomi)
Ada satu fenomena dalam kajian ekonomi yang disebut dengan gelembung ekonomi (economic bubbles atau bubble economy). Fenomena ini terjadi di banyak negara dan ternyata mempunyai sejarah panjang. di artikel ini kita akan mempelajari pengertian umum bubble economy atau economic bubbles dan beberapa peristiwa dimana fenomena gelembung ekonomi terjadi.
Menurut konsep dasar’nya, economic bubbles atau bubble economy mengacu di situasi dimana harga suatu produk atau aset dalam segmen pasar tertentu menemui kenaikan nilai/harga diluar kebiasaan atau dengan cara tidak wajar, serta terjadi dalam waktu yang relatif cepat.
Terdapat banyak contoh fenomena economic bubbles yang terjadi dan melibatkan sektor ekonomi yang berbeda-beda, diantaranya di sektor perumahan atau yang lebih dikenal dengan istilah housing bubbles dan di pasar saham atau stock bubbles.
Dalam perkembangannya, terdapat banyak studi yang mengkaji dengan cara lebih komprehensif mengenai konsep bubble economy, termasuk pertanyaan mengenai apa yang dimaksud dengan kenaikan harga diluar kewajaran serta bagaimana mengkategorisasikan waktu yang disebut sebagai relatif cepat. Namun demikian, kita tidak akan membahas hal tersebut dalam tulisan ini.
Berikut dibawah ini yaitu beberapa contoh kejadian yang menggambarkan fenomena economic bubbles.
Salah satu contoh klasik fenomena bubble economy terjadi di era 1637’an yang dikenal dengan nama The Tulip Mania.
Sejak akhir era 1590’an, bunga tulip menjadi salah komoditas yang diimpor dari Turki menuju Belanda. setelah itu, bunga ini menjadi fenomenal di negeri Belanda dan menjadi salah satu trendsetter, terutama sebagai hiasan di busana. Sebab begitu tingginya pesona bunga tulip di mata masyarakat, maka permintaan akan bunga tersebut melonjak pesat seiring meningkatnya permintaan masyarakat, hingga puncaknya di awal 1637’an.
Tingginya permintaan yang tidak diimbangi dengan tersedianya stok bunga tulip membuat harga bunga tulip melejit hingga setara dengan 40 kali gaji rata-rata tenaga kerja Belanda per tahunnya. Sayangnya hal tersebut tidak bertahan lama, terutama saat para pelaku pasar yang memegang bunga tulip mulai menjual bunga tersebut ke pasar dan diikuti oleh pelaku pasar lainnya, sehingga menyebabkan harga bunga tulip anjlok dalam tempo satu bulan. Konon setelah peristiwa tersebut, harga bunga tulip tidak lebih mahal dari harga sebiji bawah merah.
Economic bubbles di krisis ekonomi Asia 1997-1998.
Tidak sedikit studi yang menyebutkan bahwa terjadinya krisis ekonomi Asia 1997-1998 antara lain dikarenakan Sebab pecahnya gelembung ekonomi, mengingat di akhir 1980’an hingga pertengahan 1990’an, tingkat suku bunga acuan di negara-negara berkembang kawasan Asia cenderung tinggi, jauh diatas suku bunga yang ditawarkan oleh negara-negara maju.
Tingginya suku bunga tersebut dipandang sebagai daya tarik oleh pemodal, sehingga terjadi capital inflow atau aliran modal masuk yang sangat besar menuju negara-negara berkembang, antara lain ke Korea Selatan, Phillipina, Indonesia, Thailand, dan Malaysia. Alhasil, pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut meningkat dengan pesat hingga berada dikisaran 8% hingga dengan 12%.
Walaupun begitu, tingginya pertumbuhan itu semata-mata Sebab banyaknya aliran modal masuk, bukan ditopang dari investasi di sektor riil dan aset produktif yang dimiliki negara-negara tersebut. Dengan Perkataan lain, fundamental ekonomi negara-negara tersebut Bisa dikatakan keropos.
Alhasil, saat Bank Sentral Amerika Serikat mulai menaikkan tingkat suku bunga acuan (Fed rate) setelah mampu menjalankan recovery dari resesi ekonomi domestik, aliran dana yang sebelumnya ada di Asia mulai bergerak dengan cepat menuju pasar Amerika Serikat yang dinilai lebih stabil.
Selain itu, dengan semakin tingginya tingkat suku bunga (Fed rate), maka semakin kuat pula nilai tukar mata uang US$ terhadap mata uang negara lain. Dua faktor tersebut menyebabkan terjadinya pelarian modal (capital flight) dengan cara besar-besaran dari Asia. di akhirnya hal tersebut menimbulkan panic rush di sektor perbankan, yakni saat banyak orang dengan cara bersama-sama menarik dana tunai yang mereka simpan di bank komersial, sehingga mengakibatkan terpuruknya mata uang negara-negara Asia.
Kasus gelembung ekonomi yang menimpa perusahaan berbasis internet (.com companies) di pertengahan 1990’an hingga awal 2000’an.
Contoh lain terjadinya economic bubbles di dunia modern yaitu di periode pertengahan 1990’an hingga awal era 2000’an. di saat itu perkembangan teknologi memasuki babak baru, dimana terjadi booming perusahaan teknologi berbasis internet. Periode itu juga dikenal sebagai era The brand-new Economy, yang ditandai dengan bermunculannya perusahaan berbasis internet atau lebih dikenal dengan sebutan .com companies.
saat perusahaan-perusahaan tersebut mulai go public, nilai saham-saham mereka melejit hingga berkali lipat, diimbangi dengan tingginya ekspektasi pelaku pasar dan masyarakat umum akan keberhasilan era ekonomi baru. di masa tersebut, semua isu yang berkaitan dengan internet dan online menjadi topik utama setiap percakapan dengan nada-nada optimistis.
Sayangnya, semua hal tersebut tidak diikuti dengan manajemen perusahaan yang prudent (penuh kehati-hatian), pondasi finansial yang kokoh, serta analisa penghitungan rugi/laba operasi yang optimal; dengan Perkataan lain, yang menjadi fokus perhatian yaitu faktor pemasaran (marketing) semata.
Hingga saat Bank Sentral Amerika Serikat (the Federal Reserve) kembali menaikkan suku bunga acuan di rentang 1999-2000, perusahaan-perusahaan tersebut mulai kehilangan kekuatan finansial. Hal itu diperparah dengan banyaknya perusahaan start-up yang membukukan kerugian besar dalam laporan keuangannya.
di akhirnya semua ekspektasi masyarakat tidak terwujud, dan gelembung ekonomi pun pecah. Catatan menyebutkan terdapat lebih dari US$ 8 trilliun menguap di pasar. Bahkan perusahaan besar seperti Amazon.com, Cisco System, Priceline.com, hingga Yahoo! menemui penurunan harga saham hingga lebih dari 0% (Jimenez, Alvaro, Understanding Economic Bubbles, 2011).
Selanjutnya, ada beberapa teori yang berusaha menerjelaskan karakteristik gelembung ekonomi, salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Thompson dan Hickson.
Studi yang dilakukan keduanya menyebut dua jenis bubble, yakni bubble yang bersifat jangka pendek (short-term informational monopoly bubbles). Gelembung ekonomi jenis ini biasanya ditandai dengan tidak adanya peningkatan persediaan (supply) produk/aset. Karakteristik gelembung ini juga dikenal dengan sebutan mini bubbles.
Bubble tersebut cenderung terjadi melalui mekanisme manipulasi pasar oleh pelaku pasar yang mempunyai informasi mengenai aset/produk tertentu. Dengan kekuatan finansial, pelaku pasar tertentu mulai berspekulasi di aset tersebut. Hal ini menarik perhatian pelaku pasar lain dan mulai memburu aset serupa, sehingga mengakibatkan kenaikan nilai/harga aset dengan cara drastis di pasar.
Kondisi seperti ini biasanya tidak Bisa diprediksi sejak awal dan tidak diketahui akan berlangsung berapa lama. Oleh Sebab itulah, maka fenomena ini tidak disertai dengan adanya peningkatan supply untuk mengimbangi demand.
Selanjutnya, gelembung akan pecah saat pelaku tersebut menjalankan Divestasi aset dengan cara besar-besaran, sehingga menjatuhkan harga/nilai aset. Sebagaimana kita ketahui, setidaknya ada dua perilaku (economic behavior) yang Bisa kita jumpai di pelaku pasar, yakni mereka yang mengambil keputusan dengan horizon jangka panjang dan mengutamakan faktor fundamental suatu aset, serta pelaku pasar yang lebih berfokus di keuntungan jangka pendek, dengan menjalankan pembelian aset di harga rendah dan melepasnya kembali saat harga’nya tinggi (pelaku pasar dengan tipe ini dikenal dengan sebutan spekulan).
Dalam hal ini, fenomena The Tulip Mania Bisa dikategorikan sebagai short-term informational monopoly bubbles.
Sementara bubble yang berikutnya yaitu bubble yang bersifat jangka panjang (long-term government involved bubbles), cenderung berlangsung lebih lama dan ditandai dengan peningkatan persediaan produk/aset.
Gelembung seperti ini biasanya terjadi sebagai konsekuensi atas pengambilan atau perubahan kebijakan ekonomi (moneter dan/atau fiskal) serta kebijakan lain oleh otoritas terkait.
Namun begitu, berbeda dari tipe bubble yang pertama, disini pengambil kebijakan sudah menghitung dan memperhitungkan dampak dilaksanakannya kebijakan tersebut, bagus dengan cara positif ataupun negatif, sehingga menyertakan pula langkah antisipatif sebagai kompensasi atas dampak-dampak tersebut.
Kasus .com companies merupakan salah satu contoh long-term government induced bubbles. Hal tersebut dibuktikan dengan masih maraknya bahkan makin banyaknya perusahaan yang berbasis .com hingga kini, namun dengan kapitalisasi yang tidak melesat terlalu cepat seperti di kasus tersebut (Thompson, E., as well as Charles R. Hickson, Predicting bubbles, Global Business as well as Economic Review, Vol 8, 2006).
Sebagai Epilog, fenomena gelembung ekonomi (economic bubbles atau bubble economy) sudah terjadi sejak beberapa abad silam hingga saat ini. Gelembung tersebut Bisa terjadi Sebab semata-mata faktor spekulasi, namun juga Bisa diakibatkan oleh timbulnya konsekuensi atas kebijakan ekonomi yang diambil oleh otoritas pengambil kebijakan.
Menurut konsep dasar’nya, economic bubbles atau bubble economy mengacu di situasi dimana harga suatu produk atau aset dalam segmen pasar tertentu menemui kenaikan nilai/harga diluar kebiasaan atau dengan cara tidak wajar, serta terjadi dalam waktu yang relatif cepat.
Terdapat banyak contoh fenomena economic bubbles yang terjadi dan melibatkan sektor ekonomi yang berbeda-beda, diantaranya di sektor perumahan atau yang lebih dikenal dengan istilah housing bubbles dan di pasar saham atau stock bubbles.
Dalam perkembangannya, terdapat banyak studi yang mengkaji dengan cara lebih komprehensif mengenai konsep bubble economy, termasuk pertanyaan mengenai apa yang dimaksud dengan kenaikan harga diluar kewajaran serta bagaimana mengkategorisasikan waktu yang disebut sebagai relatif cepat. Namun demikian, kita tidak akan membahas hal tersebut dalam tulisan ini.
Berikut dibawah ini yaitu beberapa contoh kejadian yang menggambarkan fenomena economic bubbles.
Salah satu contoh klasik fenomena bubble economy terjadi di era 1637’an yang dikenal dengan nama The Tulip Mania.
Sejak akhir era 1590’an, bunga tulip menjadi salah komoditas yang diimpor dari Turki menuju Belanda. setelah itu, bunga ini menjadi fenomenal di negeri Belanda dan menjadi salah satu trendsetter, terutama sebagai hiasan di busana. Sebab begitu tingginya pesona bunga tulip di mata masyarakat, maka permintaan akan bunga tersebut melonjak pesat seiring meningkatnya permintaan masyarakat, hingga puncaknya di awal 1637’an.
Tingginya permintaan yang tidak diimbangi dengan tersedianya stok bunga tulip membuat harga bunga tulip melejit hingga setara dengan 40 kali gaji rata-rata tenaga kerja Belanda per tahunnya. Sayangnya hal tersebut tidak bertahan lama, terutama saat para pelaku pasar yang memegang bunga tulip mulai menjual bunga tersebut ke pasar dan diikuti oleh pelaku pasar lainnya, sehingga menyebabkan harga bunga tulip anjlok dalam tempo satu bulan. Konon setelah peristiwa tersebut, harga bunga tulip tidak lebih mahal dari harga sebiji bawah merah.
Economic bubbles di krisis ekonomi Asia 1997-1998.
Tidak sedikit studi yang menyebutkan bahwa terjadinya krisis ekonomi Asia 1997-1998 antara lain dikarenakan Sebab pecahnya gelembung ekonomi, mengingat di akhir 1980’an hingga pertengahan 1990’an, tingkat suku bunga acuan di negara-negara berkembang kawasan Asia cenderung tinggi, jauh diatas suku bunga yang ditawarkan oleh negara-negara maju.
Tingginya suku bunga tersebut dipandang sebagai daya tarik oleh pemodal, sehingga terjadi capital inflow atau aliran modal masuk yang sangat besar menuju negara-negara berkembang, antara lain ke Korea Selatan, Phillipina, Indonesia, Thailand, dan Malaysia. Alhasil, pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut meningkat dengan pesat hingga berada dikisaran 8% hingga dengan 12%.
Walaupun begitu, tingginya pertumbuhan itu semata-mata Sebab banyaknya aliran modal masuk, bukan ditopang dari investasi di sektor riil dan aset produktif yang dimiliki negara-negara tersebut. Dengan Perkataan lain, fundamental ekonomi negara-negara tersebut Bisa dikatakan keropos.
Alhasil, saat Bank Sentral Amerika Serikat mulai menaikkan tingkat suku bunga acuan (Fed rate) setelah mampu menjalankan recovery dari resesi ekonomi domestik, aliran dana yang sebelumnya ada di Asia mulai bergerak dengan cepat menuju pasar Amerika Serikat yang dinilai lebih stabil.
Selain itu, dengan semakin tingginya tingkat suku bunga (Fed rate), maka semakin kuat pula nilai tukar mata uang US$ terhadap mata uang negara lain. Dua faktor tersebut menyebabkan terjadinya pelarian modal (capital flight) dengan cara besar-besaran dari Asia. di akhirnya hal tersebut menimbulkan panic rush di sektor perbankan, yakni saat banyak orang dengan cara bersama-sama menarik dana tunai yang mereka simpan di bank komersial, sehingga mengakibatkan terpuruknya mata uang negara-negara Asia.
Kasus gelembung ekonomi yang menimpa perusahaan berbasis internet (.com companies) di pertengahan 1990’an hingga awal 2000’an.
Contoh lain terjadinya economic bubbles di dunia modern yaitu di periode pertengahan 1990’an hingga awal era 2000’an. di saat itu perkembangan teknologi memasuki babak baru, dimana terjadi booming perusahaan teknologi berbasis internet. Periode itu juga dikenal sebagai era The brand-new Economy, yang ditandai dengan bermunculannya perusahaan berbasis internet atau lebih dikenal dengan sebutan .com companies.
saat perusahaan-perusahaan tersebut mulai go public, nilai saham-saham mereka melejit hingga berkali lipat, diimbangi dengan tingginya ekspektasi pelaku pasar dan masyarakat umum akan keberhasilan era ekonomi baru. di masa tersebut, semua isu yang berkaitan dengan internet dan online menjadi topik utama setiap percakapan dengan nada-nada optimistis.
Sayangnya, semua hal tersebut tidak diikuti dengan manajemen perusahaan yang prudent (penuh kehati-hatian), pondasi finansial yang kokoh, serta analisa penghitungan rugi/laba operasi yang optimal; dengan Perkataan lain, yang menjadi fokus perhatian yaitu faktor pemasaran (marketing) semata.
Hingga saat Bank Sentral Amerika Serikat (the Federal Reserve) kembali menaikkan suku bunga acuan di rentang 1999-2000, perusahaan-perusahaan tersebut mulai kehilangan kekuatan finansial. Hal itu diperparah dengan banyaknya perusahaan start-up yang membukukan kerugian besar dalam laporan keuangannya.
di akhirnya semua ekspektasi masyarakat tidak terwujud, dan gelembung ekonomi pun pecah. Catatan menyebutkan terdapat lebih dari US$ 8 trilliun menguap di pasar. Bahkan perusahaan besar seperti Amazon.com, Cisco System, Priceline.com, hingga Yahoo! menemui penurunan harga saham hingga lebih dari 0% (Jimenez, Alvaro, Understanding Economic Bubbles, 2011).
Selanjutnya, ada beberapa teori yang berusaha menerjelaskan karakteristik gelembung ekonomi, salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Thompson dan Hickson.
Studi yang dilakukan keduanya menyebut dua jenis bubble, yakni bubble yang bersifat jangka pendek (short-term informational monopoly bubbles). Gelembung ekonomi jenis ini biasanya ditandai dengan tidak adanya peningkatan persediaan (supply) produk/aset. Karakteristik gelembung ini juga dikenal dengan sebutan mini bubbles.
Bubble tersebut cenderung terjadi melalui mekanisme manipulasi pasar oleh pelaku pasar yang mempunyai informasi mengenai aset/produk tertentu. Dengan kekuatan finansial, pelaku pasar tertentu mulai berspekulasi di aset tersebut. Hal ini menarik perhatian pelaku pasar lain dan mulai memburu aset serupa, sehingga mengakibatkan kenaikan nilai/harga aset dengan cara drastis di pasar.
Kondisi seperti ini biasanya tidak Bisa diprediksi sejak awal dan tidak diketahui akan berlangsung berapa lama. Oleh Sebab itulah, maka fenomena ini tidak disertai dengan adanya peningkatan supply untuk mengimbangi demand.
Selanjutnya, gelembung akan pecah saat pelaku tersebut menjalankan Divestasi aset dengan cara besar-besaran, sehingga menjatuhkan harga/nilai aset. Sebagaimana kita ketahui, setidaknya ada dua perilaku (economic behavior) yang Bisa kita jumpai di pelaku pasar, yakni mereka yang mengambil keputusan dengan horizon jangka panjang dan mengutamakan faktor fundamental suatu aset, serta pelaku pasar yang lebih berfokus di keuntungan jangka pendek, dengan menjalankan pembelian aset di harga rendah dan melepasnya kembali saat harga’nya tinggi (pelaku pasar dengan tipe ini dikenal dengan sebutan spekulan).
Dalam hal ini, fenomena The Tulip Mania Bisa dikategorikan sebagai short-term informational monopoly bubbles.
Sementara bubble yang berikutnya yaitu bubble yang bersifat jangka panjang (long-term government involved bubbles), cenderung berlangsung lebih lama dan ditandai dengan peningkatan persediaan produk/aset.
Gelembung seperti ini biasanya terjadi sebagai konsekuensi atas pengambilan atau perubahan kebijakan ekonomi (moneter dan/atau fiskal) serta kebijakan lain oleh otoritas terkait.
Namun begitu, berbeda dari tipe bubble yang pertama, disini pengambil kebijakan sudah menghitung dan memperhitungkan dampak dilaksanakannya kebijakan tersebut, bagus dengan cara positif ataupun negatif, sehingga menyertakan pula langkah antisipatif sebagai kompensasi atas dampak-dampak tersebut.
Kasus .com companies merupakan salah satu contoh long-term government induced bubbles. Hal tersebut dibuktikan dengan masih maraknya bahkan makin banyaknya perusahaan yang berbasis .com hingga kini, namun dengan kapitalisasi yang tidak melesat terlalu cepat seperti di kasus tersebut (Thompson, E., as well as Charles R. Hickson, Predicting bubbles, Global Business as well as Economic Review, Vol 8, 2006).
Sebagai Epilog, fenomena gelembung ekonomi (economic bubbles atau bubble economy) sudah terjadi sejak beberapa abad silam hingga saat ini. Gelembung tersebut Bisa terjadi Sebab semata-mata faktor spekulasi, namun juga Bisa diakibatkan oleh timbulnya konsekuensi atas kebijakan ekonomi yang diambil oleh otoritas pengambil kebijakan.
0 Response to "Memahami Makna Economic Bubbles (Gelembung Ekonomi) Yang Wajib Kita Baca"
Posting Komentar