Hal Fundamental dari materi Teori Perilaku yang Direncanakan (Theory of Planned Behavior) By Fishbein dan Ajzen, bahwa setiap masyarakat negara wajib mempunyai kemampuan pemahaman seputar pembahasan ekonomi, hal ini erat kaitannya dengan perkembangan ekonomi di rumahtangga, masyarakat dan negara itu sendiri, maka belajar ekonomi memang wajib di galakkan sejak dini, sejak masih mengenal bangku pendidikan. wajib dicatat bahwa gaji lulusan ekonomi termasuk yang tertinggi dari disiplin apapun. Ekonomi mengajarkan bagaimana membuat keputusan yang tepat. Kemampuan ilmu ekonomi misalnya pengambilan keputusan: Apa yang wajib dilakukan bisnis untuk menaikkan margin keuntungan.
TPB sangat sesuai digunakan untuk menerjelaskan berbagai perilaku di dalam kewirausahaan. Sebagaimana dikatakan oleh Ajzen (1991) bahwa TPB is usually suitable to explain any behavior which requires planning, such as entrepreneurship (TPB cocok untuk menerjelaskan perilaku apa pun yang memerlukan perencanaan, seperti kewirausahaan).
Manusia biasanya berperilaku dengan Tips yang masuk akal, mereka mempertimbangkan perilakunya berdasarkan informasi yang tersedia, dan dengan cara implisit atau eksplisit juga mempertimbangkan karena dari tindakan mereka (Ajzen, 2006). Ajzen (2005) menerjelaskan, perilaku didasarkan faktor kehendak yang melibatkan pertimbangan-pertimbangan untuk menjalankan atau tidak menjalankan suatu perilaku; dimana dalam prosesnya, berbagai pertimbangan tersebut akan membentuk intensi untuk menjalankan suatu perilaku.
Dalam theory of reasoned action dinyatakan bahwa intensi untuk menjalankan suatu perilaku mempunyai dua prediktor utama, yaitu attitude toward the behavior dan subjective norm. Pengembangan dari teori ini, planned behavior theory, menemukan prediktor lain yang juga memengaruhi intensi untuk menjalankan suatu perilaku dengan memasukkan konsep perceived behavioral control. Sehingga terdapat tiga prediktor utama yang memengaruhi intensi individu untuk menjalankan suatu perilaku, yaitu sikap terhadap suatu perilaku (attitude toward the behavior), norma subyektif mengenai suatu perilaku (subjective norm), dan persepsi mengenai kontrol perilaku (perceived behavioral control) (Ajzen, 2005).
Fishbein dan Ajzen (dikutip dalam Yuliana, 2004) memaparkan, planned behavior theory didasarkan atas pendekatan terhadap beliefs yang Bisa mendorong individu untuk menjalankan perilaku tertentu. Pendekatan terhadap beliefs dilakukan dengan mengasosiasikan berbagai karakteristik, kualitas, dan atribut berdasarkan informasi yang telah dimiliki, setelah itu dengan cara otomatis akan terbentuk intensi untuk berperilaku. Pendekatan dalam planned behavior theory dikhususkan di perilaku spesifik yang dilakukan individu dan Bisa digunakan untuk semua perilaku dengan cara umum (Ajzen; dikutip dalam Yuliana, 2004).
Ajzen (2005) menambahkan, seberapa besar pengaruh attitude toward the behavior, subjective norm, dan perceived behavioral control terhadap intensi untuk menjalankan suatu perilaku ditentukan oleh intensi berperilaku yang akan digambarkan. Besarnya pengaruh attitude toward the behavior, subjective norm, dan perceived behavioral control kemungkinan pun berubah-ubah dari satu individu ke individu lainnya, atau dari satu populasi ke populasi lainnya.
Selain attitude toward the behavior dan subjective norm, dalam planned behavior theory terdapat pula faktor individual, yaitu persepsi mengenai kontrol perilaku (perceived behavioral control). dengan cara konseptual, perceived behavioral control diharapkan untuk memoderasi pengaruh intensi di perilaku yang dilakukan individu; sehingga suatu intensi yang kuat akan menghasilkan perilaku hanya bila perceived behavioral control yang dimiliki individu juga kuat.
Ajzen (2006) menyatakan bahwa intensi dan perceived behavioral control yaitu berpengaruh terhadap suatu perilaku yang dilakukan oleh individu, namun di umumnya, intensi dan perceived behavioral control tidak mempunyai hubungan yang signifikan. Hal ini dikarenakan setiap individu mempunyai kontrol penuh terhadap perilaku yang akan ditampilkannya (Nelson, Fishbein, & Stasson; dikutip dalam Abrams & Moura, 2001). Azwar (dikutip dalam Christanti, 2008) menambahkan, perceived behavioral control sangat penting artinya saat rasa percaya diri individu sedang dalam kondisi yang rendah.
Ajzen (2006) memaparkan perceived behavioral control sebagai fungsi yang didasarkan oleh belief yang disebut sebagai control beliefs, yaitu belief individu mengenai faktor pendukung dan atau penghambat untuk menjalankan suatu perilaku (salient control beliefs). Belief mengenai faktor pendukung dan penghambat untuk menjalankan suatu perilaku didasarkan di pengalaman terdahulu individu mengenai suatu perilaku, informasi yang dimiliki individu mengenai suatu perilaku yang diperoleh dengan menjalankan observasi di pengetahuan yang dimiliki diri ataupun orang lain yang dikenal individu, dan juga oleh berbagai faktor lain yang Bisa melonjakkan ataupun menurunkan perasaan individu mengenai tingkat kesulitan dalam menjalankan suatu perilaku.
dengan cara spesifik, dalam planned behavior theory, persepsi mengenai kontrol perilaku (perceived behavioral control) didefinisikan sebagai persepsi individu mengenai kemudahan atau kesulitan untuk menjalankan suatu perilaku. Perceived behavioral control ditentukan oleh kombinasi antara belief individu mengenai faktor pendukung dan atau penghambat untuk menjalankan suatu perilaku (control beliefs), dengan kekuatan perasaan individu akan setiap faktor pendukung ataupun penghambat tersebut (perceived power control).
dengan cara umum, semakin individu merasakan banyak faktor pendukung dan sedikit faktor penghambat untuk Bisa menjalankan suatu perilaku, maka individu akan cenderung mempersepsikan diri mudah untuk menjalankan perilaku tersebut; sebaliknya, semakin sedikit individu merasakan sedikit faktor pendukung dan banyak faktor penghambat untuk Bisa menjalankan suatu perilaku, maka individu akan cenderung mempersepsikan diri sulit untuk menjalankan perilaku tersebut (Ajzen, 2006).
Faktor Eksternal yang Memengaruhi Attitude toward the Behavior, Subjective Norm, dan Perceived Behavioral Control
Berdasarkan planned behavior theory, ada tiga variabel yang menentukan intensi, dan yang selanjutnya akan menentukan perilaku, yaitu attitude toward the behavior, subjective norm, dan perceived behavioral control. Ketiga variabel tersebut, attitude toward the behavior, subjective norm, dan perceived behavioral control, kemungkinan dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal yang dimiliki oleh individu. Dengan Perkataan lain, individu yang tumbuh dan berkembang di lingkungan sosial yang berbeda akan memperoleh informasi yang berbeda pula mengenai berbagai hal; dimana Bisa menjadi penentu attitude toward the behavior, subjective norm, dan perceived behavioral control yang dimiliki individu.
Ajzen (2005) mengidentifikasi faktor-faktor eksternal yang memengaruhi attitude toward the behavior, subjective norm, dan perceived behavioral control ke dalam tiga kategori, yaitu (a) faktor personal yang terdiri dari sikap dengan cara umum, kepribadian, nilai hidup, emosi, dan intelijensi; (b) faktor sosial, terdiri dari usia, jenis kelamin, etnis, tingkat pendidikan, penghasilan, dan kepercayaan atau agama; (c) faktor informasi, terdiri dari pengalaman, pengetahuan, dan pemberitaan media massa.
Teori Perilaku yang Direncanakan (Theory of Planned Behavior) By Fishbein dan Ajzen
Beberapa orang pemasaran sudah tidak asing dengan TPB. Theory of Planned Behavior (TPB) sangat sering digunakan dalam berbagai penelitian (research) mengenai perilaku. Biasanya TPB digunakan sebagai variabel intervening untuk menerjelaskan intention (niat) seseorang yang setelah itu menerjelaskan perilaku orang tersebut. Artikel ini akan membahas TPB tersebut, dengan Asa Bisa membantu mahasiswa atau peneliti yang akan memakai TPB sebagai variabel dalam penelitiannya.
Theory of Planned Behavior (TPB) merupakan perluasan dari Theory of Reasoned Action (TRA). Dalam TRA dijelaskan bahwa niat seseorang terhadap perilaku dibentuk oleh dua faktor utama yaitu attitude toward the behavior dan subjective norms (Fishbein dan Ajzen, 1975), sedangkan dalam TPB ditambahkan satu faktor lagi yaitu perceived behavioral control (Ajzen, 1991).
Theory of Planned Behavior (TPB) merupakan perluasan dari Theory of Reasoned Action (TRA). Dalam TRA dijelaskan bahwa niat seseorang terhadap perilaku dibentuk oleh dua faktor utama yaitu attitude toward the behavior dan subjective norms (Fishbein dan Ajzen, 1975), sedangkan dalam TPB ditambahkan satu faktor lagi yaitu perceived behavioral control (Ajzen, 1991).
Theory of Planned Behavior |
TPB sangat sesuai digunakan untuk menerjelaskan berbagai perilaku di dalam kewirausahaan. Sebagaimana dikatakan oleh Ajzen (1991) bahwa TPB is usually suitable to explain any behavior which requires planning, such as entrepreneurship (TPB cocok untuk menerjelaskan perilaku apa pun yang memerlukan perencanaan, seperti kewirausahaan).
Manusia biasanya berperilaku dengan Tips yang masuk akal, mereka mempertimbangkan perilakunya berdasarkan informasi yang tersedia, dan dengan cara implisit atau eksplisit juga mempertimbangkan karena dari tindakan mereka (Ajzen, 2006). Ajzen (2005) menerjelaskan, perilaku didasarkan faktor kehendak yang melibatkan pertimbangan-pertimbangan untuk menjalankan atau tidak menjalankan suatu perilaku; dimana dalam prosesnya, berbagai pertimbangan tersebut akan membentuk intensi untuk menjalankan suatu perilaku.
Dalam theory of reasoned action dinyatakan bahwa intensi untuk menjalankan suatu perilaku mempunyai dua prediktor utama, yaitu attitude toward the behavior dan subjective norm. Pengembangan dari teori ini, planned behavior theory, menemukan prediktor lain yang juga memengaruhi intensi untuk menjalankan suatu perilaku dengan memasukkan konsep perceived behavioral control. Sehingga terdapat tiga prediktor utama yang memengaruhi intensi individu untuk menjalankan suatu perilaku, yaitu sikap terhadap suatu perilaku (attitude toward the behavior), norma subyektif mengenai suatu perilaku (subjective norm), dan persepsi mengenai kontrol perilaku (perceived behavioral control) (Ajzen, 2005).
Fishbein dan Ajzen (dikutip dalam Yuliana, 2004) memaparkan, planned behavior theory didasarkan atas pendekatan terhadap beliefs yang Bisa mendorong individu untuk menjalankan perilaku tertentu. Pendekatan terhadap beliefs dilakukan dengan mengasosiasikan berbagai karakteristik, kualitas, dan atribut berdasarkan informasi yang telah dimiliki, setelah itu dengan cara otomatis akan terbentuk intensi untuk berperilaku. Pendekatan dalam planned behavior theory dikhususkan di perilaku spesifik yang dilakukan individu dan Bisa digunakan untuk semua perilaku dengan cara umum (Ajzen; dikutip dalam Yuliana, 2004).
Ajzen (2005) menambahkan, seberapa besar pengaruh attitude toward the behavior, subjective norm, dan perceived behavioral control terhadap intensi untuk menjalankan suatu perilaku ditentukan oleh intensi berperilaku yang akan digambarkan. Besarnya pengaruh attitude toward the behavior, subjective norm, dan perceived behavioral control kemungkinan pun berubah-ubah dari satu individu ke individu lainnya, atau dari satu populasi ke populasi lainnya.
- Intensi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) intensi diartikan sebagai maksud atau tujuan. Oxford Dictionary of Psychology (Coleman; dikutip dalam Christanti, 2008) mendefinisikan intensi sebagai suatu kecenderungan perilaku yang dilakukan dengan sengaja dan bukan tanpa tujuan. Sedangkan menurut Engel et al. (dikutip dalam Sukirno & Sutarmanto, 2007), intensi yaitu kompetensi diri individu yang mengacu di keinginan untuk menjalankan suatu perilaku tertentu.
Fishbein dan Ajzen (dikutip dalam Yuliana, 2004) menerjelaskan intensi sebagai representasi kognitif dan konatif dari kesiapan individu untuk menampilkan suatu perilaku. Intensi merupakan penentu dan disposisi dari perilaku, hingga individu mempunyai kesempatan dan waktu yang tepat untuk menampilkan perilaku tersebut dengan cara nyata. Dharmmesta (dikutip dalam Sukirno & Sutarmanto, 2007) menambahkan, intensi merupakan perantara faktor-faktor motivasional yang mempunyai dampak di perilaku.
dengan cara spesifik, dalam planned behavior theory, dijelaskan bahwa intensi untuk menjalankan suatu perilaku yaitu indikasi kecenderungan individu untuk menjalankan suatu perilaku dan merupakan anteseden langsung dari perilaku tersebut. Intensi untuk menjalankan suatu perilaku Bisa diukur melalui tiga prediktor utama yang memengaruhi intensi tersebut, yaitu attitude toward the behavior, subjective norm, dan perceived behavioral control (Ajzen, 2006).
dengan cara umum, bila individu mempunyai intensi untuk menjalankan suatu perilaku maka individu cenderung akan menjalankan perilaku tersebut; sebaliknya, bila individu tidak mempunyai intensi untuk menjalankan suatu perilaku maka individu cenderung tidak akan menjalankan perilaku tersebut (Ajzen; dikutip dalam Yuliana, 2004). Namun intensi individu untuk menjalankan suatu perilaku mempunyai keterbatasan waktu dalam perwujudannya ke arah perilaku nyata, maka dalam menjalankan pengukuran intensi untuk menjalankan suatu perilaku wajib untuk diperhatikan empat elemen utama dari intensi, yaitu target dari perilaku yang dituju (target), tindakan (action), situasi saat perilaku ditampilkan (contex), dan waktu saat perilaku ditampilkan (time) (Fishbein & Ajzen; dikutip dalam Yuliana, 2004).
Fishbein dan Ajzen (dikutip dalam Yuliana, 2004) menerjelaskan intensi sebagai representasi kognitif dan konatif dari kesiapan individu untuk menampilkan suatu perilaku. Intensi merupakan penentu dan disposisi dari perilaku, hingga individu mempunyai kesempatan dan waktu yang tepat untuk menampilkan perilaku tersebut dengan cara nyata. Dharmmesta (dikutip dalam Sukirno & Sutarmanto, 2007) menambahkan, intensi merupakan perantara faktor-faktor motivasional yang mempunyai dampak di perilaku.
dengan cara spesifik, dalam planned behavior theory, dijelaskan bahwa intensi untuk menjalankan suatu perilaku yaitu indikasi kecenderungan individu untuk menjalankan suatu perilaku dan merupakan anteseden langsung dari perilaku tersebut. Intensi untuk menjalankan suatu perilaku Bisa diukur melalui tiga prediktor utama yang memengaruhi intensi tersebut, yaitu attitude toward the behavior, subjective norm, dan perceived behavioral control (Ajzen, 2006).
dengan cara umum, bila individu mempunyai intensi untuk menjalankan suatu perilaku maka individu cenderung akan menjalankan perilaku tersebut; sebaliknya, bila individu tidak mempunyai intensi untuk menjalankan suatu perilaku maka individu cenderung tidak akan menjalankan perilaku tersebut (Ajzen; dikutip dalam Yuliana, 2004). Namun intensi individu untuk menjalankan suatu perilaku mempunyai keterbatasan waktu dalam perwujudannya ke arah perilaku nyata, maka dalam menjalankan pengukuran intensi untuk menjalankan suatu perilaku wajib untuk diperhatikan empat elemen utama dari intensi, yaitu target dari perilaku yang dituju (target), tindakan (action), situasi saat perilaku ditampilkan (contex), dan waktu saat perilaku ditampilkan (time) (Fishbein & Ajzen; dikutip dalam Yuliana, 2004).
- Attitude toward the Behavior
di eksperimen awal mengenai waktu reaksi, para eksperimenter memakai istilah sikap untuk menerjelaskan kesiapan subyek untuk bereaksi terhadap suatu set stimulus (Himmelfarb & Eagly; dikutip dalam Suryani, 2007). Saat ini, istilah sikap banyak digunakan oleh masyarakat luas untuk menggambarkan tingkah laku seseorang. Munculnya sikap yang memengaruhi perilaku yaitu melalui suatu proses pengambilan keputusan yang teliti dan beralasan, dan dampaknya terbatas hanya di tiga hal, yaitu: (a) perilaku tidak banyak ditentukan oleh sikap umum, akan tetapi oleh sikap spesifik terhadap suatu perilaku; (b) perilaku tidak hanya dipengaruhi oleh sikap, akan tetapi juga dipengaruhi oleh norma subyektif; (c) sikap terhadap perilaku bersama dengan norma subyektif membentuk intensi untuk menjalankan suatu perilaku tertentu (Fishbein & Ajzen, 1975). Dari beberapa penelitian lanjutan, Ajzen menambahkan satu determinan lagi yang Bisa memengaruhi intensi berperilaku individu, yaitu persepsi mengenai kontrol perilaku (perceived behavioral control).
Ajzen (2005) memaparkan sikap terhadap suatu perilaku merupakan suatu fungsi yang didasarkan oleh belief yang disebut sebagai behavioral beliefs, yaitu belief individu mengenai konsekuensi positif dan atau negatif yang akan diperoleh individu dari menjalankan suatu perilaku (salient outcome beliefs). Meskipun seorang individu kemungkinan mempunyai banyak belief mengenai konsekuensi dari menjalankan suatu perilaku, namun hanya sebagian kecil aja dari sejumlah belief tersebut yang Bisa diakses; dimana merupakan belief individu mengenai konsekuensi yang akan diperoleh dari menjalankan suatu perilaku atau disebut sebagai salient outcome beliefs.
dengan cara spesifik, dalam planned behavior theory, sikap terhadap suatu perilaku (attitude toward the behavior) didefinisikan sebagai derajat Evaluasi positif atau negatif individu terhadap suatu perilaku. Attitude toward the behavior ditentukan oleh kombinasi antara belief individu mengenai konsekuensi positif dan atau negatif dari menjalankan suatu perilaku (behavioral beliefs) dengan nilai subyektif individu terhadap setiap konsekuensi berperilaku tersebut (outcome evaluation).
dengan cara umum, semakin individu mempunyai Evaluasi bahwa suatu perilaku akan menghasilkan konsekuensi positif maka individu akan cenderung bersikap favorable terhadap perilaku tersebut; sebaliknya, semakin individu mempunyai Evaluasi bahwa suatu perilaku akan menghasilkan konsekuensi negatif maka individu akan cenderung bersikap unfavorable terhadap perilaku tersebut (Ajzen, 2005).
Ajzen (2005) memaparkan sikap terhadap suatu perilaku merupakan suatu fungsi yang didasarkan oleh belief yang disebut sebagai behavioral beliefs, yaitu belief individu mengenai konsekuensi positif dan atau negatif yang akan diperoleh individu dari menjalankan suatu perilaku (salient outcome beliefs). Meskipun seorang individu kemungkinan mempunyai banyak belief mengenai konsekuensi dari menjalankan suatu perilaku, namun hanya sebagian kecil aja dari sejumlah belief tersebut yang Bisa diakses; dimana merupakan belief individu mengenai konsekuensi yang akan diperoleh dari menjalankan suatu perilaku atau disebut sebagai salient outcome beliefs.
dengan cara spesifik, dalam planned behavior theory, sikap terhadap suatu perilaku (attitude toward the behavior) didefinisikan sebagai derajat Evaluasi positif atau negatif individu terhadap suatu perilaku. Attitude toward the behavior ditentukan oleh kombinasi antara belief individu mengenai konsekuensi positif dan atau negatif dari menjalankan suatu perilaku (behavioral beliefs) dengan nilai subyektif individu terhadap setiap konsekuensi berperilaku tersebut (outcome evaluation).
dengan cara umum, semakin individu mempunyai Evaluasi bahwa suatu perilaku akan menghasilkan konsekuensi positif maka individu akan cenderung bersikap favorable terhadap perilaku tersebut; sebaliknya, semakin individu mempunyai Evaluasi bahwa suatu perilaku akan menghasilkan konsekuensi negatif maka individu akan cenderung bersikap unfavorable terhadap perilaku tersebut (Ajzen, 2005).
- Subjective Norm
Hasil dari menampilkan suatu perilaku yaitu ditentukan oleh kesetujuan atau ketidaksetujuan orang lain atau kelompok tertentu. Kesetujuan atau ketidaksetujuan ini Bisa mengarah di adanya penghargaan atau hukuman atas perilaku yang ditampilkan individu. Dengan demikian, Bisa dikatakan bahwa dalam menampilkan suatu perilaku wajib adanya pemikiran dari individu lain yang akan dijelaskan melalui norma subyektif. Planned behavior theory memerhatikan elemen sosial dari perilaku seorang individu melalui norma subyektif ini (Ajzen; dikutip dalam Yuliana, 2004).
Ajzen (2005) memaparkan subejctive norm merupakan fungsi yang didasarkan oleh belief yang disebut sebagai normative beliefs, yaitu belief mengenai kesetujuan dan atau ketidaksetujuan seseorang ataupun kelompok yang penting untuk individu terhadap suatu perilaku (salient referent beliefs). Ajzen (2006) menambahkan, di beberapa perilaku, rujukan sosial yang dianggap penting juga memasukkan rujukan sosial yang berasal dari orang tua, pasangan pernikahan, sahabat, rekan kerja, dan rujukan lain yang berhubungan dengan suatu perilaku.
dengan cara spesifik, dalam planned behavior theory, norma subyektif mengenai suatu perilaku (subjective norm) didefinisikan sebagai persepsi individu mengenai tekanan sosial untuk menjalankan atau tidak menjalankan suatu perilaku. Subjective norm ditentukan oleh kombinasi antara belief individu mengenai kesetujuan dan atau ketidaksetujuan seseorang ataupun kelompok yang penting untuk individu terhadap suatu perilaku (normative beliefs), dengan motivasi individu untuk mematuhi rujukan tersebut (motivation to comply).
French dan Raven (dikutip dalam Fishbein & Ajzen, 1975) menerjelaskan bahwa motivation to comply sebagai salah satu hal yang memengaruhi nilai norma subyektif mengenai suatu perilaku yaitu dipengaruhi oleh kekuatan sosial. Kekuatan sosial yang dimaksud terdiri dari penghargaan atau hukuman yang diberikan sumber rujukan kepada individu, rasa suka individu terhadap sumber rujukan, seberapa besar individu mengganggap sumber rujukan sebagai seorang ahli, dan adanya permintaan dari sumber rujukan tersebut.
dengan cara umum, semakin individu mempersepsikan bahwa rujukan sosialnya merekomendasikan untuk menjalankan suatu perilaku maka individu akan cenderung merasakan tekanan sosial untuk menjalankan perilaku tersebut; sebaliknya, semakin individu mempersepsikan bahwa rujukan sosialnya merekomendasikan untuk tidak menjalankan suatu perilaku maka individu akan cenderung merasakan takanan sosial untuk tidak menjalankan perilaku tersebut (Ajzen, 2005).
Ajzen (2005) memaparkan subejctive norm merupakan fungsi yang didasarkan oleh belief yang disebut sebagai normative beliefs, yaitu belief mengenai kesetujuan dan atau ketidaksetujuan seseorang ataupun kelompok yang penting untuk individu terhadap suatu perilaku (salient referent beliefs). Ajzen (2006) menambahkan, di beberapa perilaku, rujukan sosial yang dianggap penting juga memasukkan rujukan sosial yang berasal dari orang tua, pasangan pernikahan, sahabat, rekan kerja, dan rujukan lain yang berhubungan dengan suatu perilaku.
dengan cara spesifik, dalam planned behavior theory, norma subyektif mengenai suatu perilaku (subjective norm) didefinisikan sebagai persepsi individu mengenai tekanan sosial untuk menjalankan atau tidak menjalankan suatu perilaku. Subjective norm ditentukan oleh kombinasi antara belief individu mengenai kesetujuan dan atau ketidaksetujuan seseorang ataupun kelompok yang penting untuk individu terhadap suatu perilaku (normative beliefs), dengan motivasi individu untuk mematuhi rujukan tersebut (motivation to comply).
French dan Raven (dikutip dalam Fishbein & Ajzen, 1975) menerjelaskan bahwa motivation to comply sebagai salah satu hal yang memengaruhi nilai norma subyektif mengenai suatu perilaku yaitu dipengaruhi oleh kekuatan sosial. Kekuatan sosial yang dimaksud terdiri dari penghargaan atau hukuman yang diberikan sumber rujukan kepada individu, rasa suka individu terhadap sumber rujukan, seberapa besar individu mengganggap sumber rujukan sebagai seorang ahli, dan adanya permintaan dari sumber rujukan tersebut.
dengan cara umum, semakin individu mempersepsikan bahwa rujukan sosialnya merekomendasikan untuk menjalankan suatu perilaku maka individu akan cenderung merasakan tekanan sosial untuk menjalankan perilaku tersebut; sebaliknya, semakin individu mempersepsikan bahwa rujukan sosialnya merekomendasikan untuk tidak menjalankan suatu perilaku maka individu akan cenderung merasakan takanan sosial untuk tidak menjalankan perilaku tersebut (Ajzen, 2005).
- Perceived Behavioral Control
Selain attitude toward the behavior dan subjective norm, dalam planned behavior theory terdapat pula faktor individual, yaitu persepsi mengenai kontrol perilaku (perceived behavioral control). dengan cara konseptual, perceived behavioral control diharapkan untuk memoderasi pengaruh intensi di perilaku yang dilakukan individu; sehingga suatu intensi yang kuat akan menghasilkan perilaku hanya bila perceived behavioral control yang dimiliki individu juga kuat.
Ajzen (2006) menyatakan bahwa intensi dan perceived behavioral control yaitu berpengaruh terhadap suatu perilaku yang dilakukan oleh individu, namun di umumnya, intensi dan perceived behavioral control tidak mempunyai hubungan yang signifikan. Hal ini dikarenakan setiap individu mempunyai kontrol penuh terhadap perilaku yang akan ditampilkannya (Nelson, Fishbein, & Stasson; dikutip dalam Abrams & Moura, 2001). Azwar (dikutip dalam Christanti, 2008) menambahkan, perceived behavioral control sangat penting artinya saat rasa percaya diri individu sedang dalam kondisi yang rendah.
Ajzen (2006) memaparkan perceived behavioral control sebagai fungsi yang didasarkan oleh belief yang disebut sebagai control beliefs, yaitu belief individu mengenai faktor pendukung dan atau penghambat untuk menjalankan suatu perilaku (salient control beliefs). Belief mengenai faktor pendukung dan penghambat untuk menjalankan suatu perilaku didasarkan di pengalaman terdahulu individu mengenai suatu perilaku, informasi yang dimiliki individu mengenai suatu perilaku yang diperoleh dengan menjalankan observasi di pengetahuan yang dimiliki diri ataupun orang lain yang dikenal individu, dan juga oleh berbagai faktor lain yang Bisa melonjakkan ataupun menurunkan perasaan individu mengenai tingkat kesulitan dalam menjalankan suatu perilaku.
dengan cara spesifik, dalam planned behavior theory, persepsi mengenai kontrol perilaku (perceived behavioral control) didefinisikan sebagai persepsi individu mengenai kemudahan atau kesulitan untuk menjalankan suatu perilaku. Perceived behavioral control ditentukan oleh kombinasi antara belief individu mengenai faktor pendukung dan atau penghambat untuk menjalankan suatu perilaku (control beliefs), dengan kekuatan perasaan individu akan setiap faktor pendukung ataupun penghambat tersebut (perceived power control).
dengan cara umum, semakin individu merasakan banyak faktor pendukung dan sedikit faktor penghambat untuk Bisa menjalankan suatu perilaku, maka individu akan cenderung mempersepsikan diri mudah untuk menjalankan perilaku tersebut; sebaliknya, semakin sedikit individu merasakan sedikit faktor pendukung dan banyak faktor penghambat untuk Bisa menjalankan suatu perilaku, maka individu akan cenderung mempersepsikan diri sulit untuk menjalankan perilaku tersebut (Ajzen, 2006).
Faktor Eksternal yang Memengaruhi Attitude toward the Behavior, Subjective Norm, dan Perceived Behavioral Control
Berdasarkan planned behavior theory, ada tiga variabel yang menentukan intensi, dan yang selanjutnya akan menentukan perilaku, yaitu attitude toward the behavior, subjective norm, dan perceived behavioral control. Ketiga variabel tersebut, attitude toward the behavior, subjective norm, dan perceived behavioral control, kemungkinan dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal yang dimiliki oleh individu. Dengan Perkataan lain, individu yang tumbuh dan berkembang di lingkungan sosial yang berbeda akan memperoleh informasi yang berbeda pula mengenai berbagai hal; dimana Bisa menjadi penentu attitude toward the behavior, subjective norm, dan perceived behavioral control yang dimiliki individu.
Ajzen (2005) mengidentifikasi faktor-faktor eksternal yang memengaruhi attitude toward the behavior, subjective norm, dan perceived behavioral control ke dalam tiga kategori, yaitu (a) faktor personal yang terdiri dari sikap dengan cara umum, kepribadian, nilai hidup, emosi, dan intelijensi; (b) faktor sosial, terdiri dari usia, jenis kelamin, etnis, tingkat pendidikan, penghasilan, dan kepercayaan atau agama; (c) faktor informasi, terdiri dari pengalaman, pengetahuan, dan pemberitaan media massa.
Konsep Pengukuran Intensi dalam Planned Behavior Theory
Teori tindakan terencana atau planned behavior theory menyatakan bahwa intensi individu untuk menjalankan suatu perilaku Bisa diprediksi dengan menggambarkan tiga prediktor utama yang memengaruhi intensi tersebut, yaitu attitude toward the behavior, subjective norm, dan perceived behavioral control. Ajzen (2005) menerjelaskan bahwa konsep pengukuran intensi dalam planned behavior theory yaitu memakai teknik analisis regresi berganda (multiple linear regression) untuk menganalisis multiple correlation atau hubungan antar ketiga prediktor dan standardized regression atau kontribusi dari ketiga prediktor dalam memengaruhi intensi untuk menjalankan suatu perilaku tertentu.
Fishbein dan Ajzen (2010) memaparkan, terdapat beberapa tahapan dalam menjalankan pengukuran intensi berdasarkan planned behavior theory, antara lain: mendefinisikan perilaku yang ingin diteliti berdasarkan target, aksi, konteks, dan waktu; menentukan populasi penelitian; dan merumuskan item yang akan digunakan dalam alat ukur. Ada tiga tahap dalam merumuskan item-item yang akan digunakan dalam alat ukur, yaitu:
Pertama, menjalankan elisitasi yang merupakan prosedur untuk mendapatkan sejumlah belief mengenai konsekuensi positif dan atau negatif dari menjalankan suatu perilaku (salient outcome beliefs), sejumlah belief mengenai kesetujuan dan atau ketidaksetujuan seseorang ataupun kelompok yang penting untuk individu terhadap suatu perilaku (salient referent beliefs), dan sejumlah belief mengenai faktor pendukung dan atau penghambat untuk menjalankan suatu perilaku (salient control beliefs). Prosedur elisitasi dilakukan dengan membagikan pertanyaan dalam bentuk free response format kepada sejumlah sampel dari populasi penelitian yang telah diketahui.
Kedua, setelah sejumlah belief didapatkan, tahap selanjutnya yaitu menentukan dan menganalisis belief, yaitu dengan mengorganisasi dan mengidentifikasi belief–belief yang telah diperoleh menjadi design salient outcome beliefs, design salient referent beliefs, dan design salient control beliefs. Tahap organisasi dan identifikasi Bisa dilakukan peneliti dengan memakai common sense (Fishbein & Ajzen, 1975).
Ketiga, setelah design salient outcome beliefs, design salient referent beliefs, dan design salient control beliefs teridentifikasi, tahap selanjutnya yaitu merumuskan item-item yang akan digunakan dalam alat ukur berdasarkan design salient outcome beliefs, design salient referent beliefs, dan design salient control beliefs. design salient outcome beliefs digunakan untuk merumuskan butir-butir pernyataan yang mengukur behavioral beliefs dan outcome evaluation, design salient referent beliefs digunakan untuk merumuskan butir-butir pernyataan yang mengukur normative beliefs dan motivation to comply, dan design salient control beliefs digunakan untuk merumuskan butir-butir pernyataan yang mengukur control beliefs dan perceived power control. Selain itu, juga dimasukkan pengukuran mengenai intensi untuk menjalankan suatu perilaku, pengukuran mengenai perilaku nyata yang dilakukan di masa lampau (past behavior), serta pengukuran mengenai karakteristik demografis, kepribadian, dan faktor eksternal lainnya yang wajib untuk dimasukkan.
Teori tindakan terencana atau planned behavior theory menyatakan bahwa intensi individu untuk menjalankan suatu perilaku Bisa diprediksi dengan menggambarkan tiga prediktor utama yang memengaruhi intensi tersebut, yaitu attitude toward the behavior, subjective norm, dan perceived behavioral control. Ajzen (2005) menerjelaskan bahwa konsep pengukuran intensi dalam planned behavior theory yaitu memakai teknik analisis regresi berganda (multiple linear regression) untuk menganalisis multiple correlation atau hubungan antar ketiga prediktor dan standardized regression atau kontribusi dari ketiga prediktor dalam memengaruhi intensi untuk menjalankan suatu perilaku tertentu.
Fishbein dan Ajzen (2010) memaparkan, terdapat beberapa tahapan dalam menjalankan pengukuran intensi berdasarkan planned behavior theory, antara lain: mendefinisikan perilaku yang ingin diteliti berdasarkan target, aksi, konteks, dan waktu; menentukan populasi penelitian; dan merumuskan item yang akan digunakan dalam alat ukur. Ada tiga tahap dalam merumuskan item-item yang akan digunakan dalam alat ukur, yaitu:
Pertama, menjalankan elisitasi yang merupakan prosedur untuk mendapatkan sejumlah belief mengenai konsekuensi positif dan atau negatif dari menjalankan suatu perilaku (salient outcome beliefs), sejumlah belief mengenai kesetujuan dan atau ketidaksetujuan seseorang ataupun kelompok yang penting untuk individu terhadap suatu perilaku (salient referent beliefs), dan sejumlah belief mengenai faktor pendukung dan atau penghambat untuk menjalankan suatu perilaku (salient control beliefs). Prosedur elisitasi dilakukan dengan membagikan pertanyaan dalam bentuk free response format kepada sejumlah sampel dari populasi penelitian yang telah diketahui.
Kedua, setelah sejumlah belief didapatkan, tahap selanjutnya yaitu menentukan dan menganalisis belief, yaitu dengan mengorganisasi dan mengidentifikasi belief–belief yang telah diperoleh menjadi design salient outcome beliefs, design salient referent beliefs, dan design salient control beliefs. Tahap organisasi dan identifikasi Bisa dilakukan peneliti dengan memakai common sense (Fishbein & Ajzen, 1975).
Ketiga, setelah design salient outcome beliefs, design salient referent beliefs, dan design salient control beliefs teridentifikasi, tahap selanjutnya yaitu merumuskan item-item yang akan digunakan dalam alat ukur berdasarkan design salient outcome beliefs, design salient referent beliefs, dan design salient control beliefs. design salient outcome beliefs digunakan untuk merumuskan butir-butir pernyataan yang mengukur behavioral beliefs dan outcome evaluation, design salient referent beliefs digunakan untuk merumuskan butir-butir pernyataan yang mengukur normative beliefs dan motivation to comply, dan design salient control beliefs digunakan untuk merumuskan butir-butir pernyataan yang mengukur control beliefs dan perceived power control. Selain itu, juga dimasukkan pengukuran mengenai intensi untuk menjalankan suatu perilaku, pengukuran mengenai perilaku nyata yang dilakukan di masa lampau (past behavior), serta pengukuran mengenai karakteristik demografis, kepribadian, dan faktor eksternal lainnya yang wajib untuk dimasukkan.
0 Response to "Teori Perilaku yang Direncanakan (Theory of Planned Behavior) By Fishbein dan Ajzen Yang Wajib Kita Tau"
Posting Komentar